Menjadi Pengabdi
"Membangun Indonesia Melalui Pemberdayaan Ekonomi Desa"
Seperti itulah judul dari kegiatan yang diadakan oleh Kementerian Sosmas BEM KMFT UGM kali ini. Kegiatan ini diadakan dalam rangka mempersiapkan diri sebagai pengabdi. Tentunya, mengabdi pada bangsa Indonesia melalui pemberdayaan ekonomi desa. Kegiatan ini dilaksanakan pada Sabtu, 19 Juni 2021 pada pukul 13.00 s/d 14.30 WIB, dan pelaksanaannya secara virtual menggunakan Zoom Meetings.
poster kegiatan |
Pembicara kegiatan Menjadi Pengabdi kali ini adalah Kak Fransisca Callista (penggerak @kebonkopenTemanggung @pasarpapringan @kebonjiwan). Bila ingin mengenal dia bisa melalui akun instagram pribadinya @fransiscallista. Selain itu, kegiatan Menjadi Pengabdi kali ini dimoderatori oleh Kak Farizqinanda A. Yaitu Menteri Koordinator Sosial dan Lingkungan BEM KMFT UGM 2021.
Kegiatan ini dimulai tepat waktu yaitu pukul 13.00 WIB. Pembawa acara memulai acara dengan sangat baik, kemudian ketua pelaksana dipersilakan untuk memberikan sambutannya. Tidak lama setelah itu, moderator mengambil alih dan masuk acara materi oleh Kak Fransisca Callista.
Materi yang dia berikan seputar pengalamannya menjadi aktivis dalam pemberdayaan desa melalui komunitas Spedagi khususnya di daerah Temanggung. Dia mengawalinya dengan pemaparan kondisi desa yang sekarang sudah banyak berubah.
Pertama adalah urbanisasi yang membuat para pemikir di desa tersebut keluar dari daerahnya sendiri. Di masa depan, mereka tidak kembali ke daerahnya sendiri dan lebih memilih untuk tinggal di kota. Hal tersebut tentunya sangat merugikan desa asalnya yang seharusnya bisa lebih berkembang dengan adanya para pemikir itu.
Kedua adalah perubahan di desa berupa mata pencaharian penduduk. Yaitu dari farmer (petani) menjadi brick maker (pencetak bata). Kak Fransisca mencontohkan dari salah satu desa di Temanggung. Para penduduknya yang semula adalah petani beralih profesi menjadi pencetak bata. Hal itu terjadi karena hasil dari pertanian yang kurang memuaskan ditambah petani butuh waktu yang lama untuk mengurus persawahannya. Sedangkan pencetak bata mendapat penghasilan yang lebih memuaskan dengan waktu yang lebih singkat.
Akan tetapi, perubahan itu berpotensi menjadi sesuatu yang tidak baik. Para pencetak bata yang dulunya petani ini mendapatkan pasokan tanah dari sawah miliknya. Mereka mengeruk tanah tersebut pada bagian tanah yang cukup subur. Mencetaknya menjadi bata dan dibakar. Pada akhirnya, sawah milik mereka tidak bisa digunakan untuk menanam padi di kemudian hari. Apabila bisa digunakan, cukup sulit karena kesuburan tanah telah berkurang.
Ketiga adalah perubahan di desa berupa kondisi infrasrukturnya. Yaitu dari trasah menjadi aspal. Di temanggung, jalan dengan susunan batu disebut TRASAH. Trasah adalah kearifan lokal yang semakin lama semakin hilang. Penduduk dalam memperbaiki jalan memilih menggunakan aspal. Padahal, penyerapan air lebih maksimal saat jatuh ke trasah. Air terserap melalui celah batuannya. Sedangkan aspal, air tak bisa menembusnya.
ilustrasi jalan trasah sumber: www.treksepeda.com |
Keempat adalah perubahan di desa berupa perilaku penduduk. Yaitu dari produksi menjadi konsumsi. Para penduduk desa pada awalnya memenuhi kebutuhan hidup mereka dari hasil sendiri, mereka sebagai produsen. Menanak nasi dari hasil sawah sendiri, memasak sayur dari hasil kebun sendiri, dan menggoreng ikan dari hasil kolam sendiri. Namun, lambat laun mereka mulai berubah. Banyak potret para penduduk desa yang membeli sayur dari pedagang sayur keliling atau sering disebut eyek. Mereka lebih konsumtif dan limbah plastik yang dihasilkan juga semakin banyak.
Kemudian, Kak Fransisca melanjutkan penjelasanya mengenai limbah plastik hasil perilaku penduduk sebagai konsumen. Kebiasaan penduduk dalam membuang limbah organik ke belakang rumah mengakibatkan mereka melakukan hal yang sama terhadap limbah plastik. Tentunya, karena limbah plastik ini sukar terurai, pekarangan belakang rumah mereka menjadi tempat yang kumuh. Dan kebanyakan pekarangan belakang rumah penduduk adalah rerumpunan pohon bambu, biasa disebut PAPRINGAN. Hal itulah yang melatar belakangi adanya Pasar Papringan.
Sebelum itu, Kak Fransisca menceritakan perjalanannya ketika di Jepang. Waktu itu, dia melihat rumpun bambu di Chiba, yaitu salah satu kota besar di Jepang. Rumpun bambu itu tumbuh tegak sendiri-sendiri. Berbeda dengan rumpun bambu di Indonesia yang tumbuh secara bergerombol-gerombol. Dia merasa nyaman berada di rumpun bambu Kota Chiba.
Akhirnya, dia berpikir bahwa di Indonesia pun juga ada, hanya berbeda sedikit cara tumbuhnya. Jenis bambu yang tumbuh juga sama, ada bambu apus, bambu petung, dan bambu legi. Namun, kembali ke kenyataan tadi jika pekarangan bambu di Indonesia, khususnya desa tadi, sangat kumuh akan sampah.
Bersama Komunitas Spedagi dan penduduk setempat, Kak Fransisca mulai membuat proyek pemberdayaan desa yang dinamai Pasar Papringan. Mereka mengubah pekarangan bambu yang kumuh menjadi sebuah tempat yang bersih dan nyaman.
Pasar Papringan terletak di Ngadiprono, Ngadimulyo, Kedu, Temanggung. Pasar Papringan Ngadiprono buka setiap minggu pon dan minggu wage pukul 06.00 s/d 12.00 WIB. Banyak makanan yang dijual di sana. Terutama makanan tradisional khas daerah. Selain itu, penduduk juga berjualan hasil pertanian, kerajinan, mainan tradisional, dan sejenisnya. Tidak lupa pula, ada taman bermain di Pasar Papringan Ngadiprono yang sangat cocok untuk anak-anak. Di pintu masuk, para wisatawan menukarkan uang miliknya dengan mata uang pring supaya bisa membeli di dalam. Jadi, harga-harganya pun bukan Rp3.000, Rp5.000, tetapi 2 pring, 5 pring, 6 pring, seperti itu.
Selain objek wisata untuk para tamu wisatawan, Pasar Papringan Ngadiprono juga digunakan untuk keperluan kegiatan penduduk setempat. Misalnya perkawinan dan upacara perti desa. Hal tersebut bertujuan agar tidak semata-mata memberikan semuanya kepada para tamu, tetapi penduduk lokal juga perlu mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan di daerah mereka sendiri.
Kak Fransisca bersama Komunitas Spedagi dan penduduk setempat berhasil memberdayakan ekonomi desa di Desa Ngadiprono, Ngadimulyo, Kedu, Temanggung. Tentunya, hal itu tidak mudah. Mereka perlu merombak pekarangan bambu yang kumuh, tidak teratur, tidak terawat, penuh sampah hingga menjadi bersih dan nyaman. Permukaan tanahnya pun dibuat trasah yang rapi dan enak dipandang. Pasar Papringan Ngadiprono jauh dari kata kotor dan bau seperti padar tradisional biasanya.
Setelah berbagi pengalamannya dalam memberdayakan ekonomi desa, Kak Fransisca menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para peserta. Sebelumnya, panitia telah menyediakan tautan sebagai tempat untuk mengumpulkan pertanyaan yang ada. Saking antusiasnya, ada sekitar sembilan belas pertanyaan yang terkumpul. Namun, Kak Fransisca hanya menjawab tiga pertanyaan karena keterbatasan waktu.
Kurang lebih tiga pertanyaan itu sebagai berikut:
1. Bagaimana seorang mahasiswa bisa mengabdi pada desa dalam keadaan pandemi seperti ini?
2. Bagaimana jika ada penolakan dari suatu pihak dalam usaha pemberdayaan ekonomi desa?
3. Apakah privilage (status pendidikan, dana, dan lain-lain) berperan dalam pemberdayaan ekonomi desa?
Kak Fransisca menjawabnya kurang lebih sebagai berikut:
Untuk pertanyaan pertama, dia menjawab yang intinya dimulai dari hal kecil. Tidak langsung yang wow! Seperti yang dia lakukan beberapa waktu yang lalu. Dia merasa bingung ingin melakukan apa karena saat pandemi hanya menganggur di rumah. Kemudian, mendapat info jika harga bawang lokal anjlok. Setelah memastikan bahwa harga bawang benar-benar anjlok, Kak Fransisca menghubungi teman-temannya untuk ikut menjual berton-ton bawang lokal ini. Dengan koordinasi yang baik secara virtual, bawang itu akhirnya terjual dan terdistribusi dengan baik. Hal kecil seperti itu termasuk pemberdayaan ekonomi desa dan bisa dilakukan saat pandemi.
Untuk pertanyaan kedua, dia menjawab dengan memberi saran menanggapi penolakan tersebut. Bila ada pihak yang menolak, cari tahu mengapa pihak itu menolaknya. Alasan di balik penolakan itu. Bisa jadi karena kecewa dengan panitia yang pernah ada. Kemudian, memosisikan diri seperti penjual obat. Buat hubungan saling percaya antara satu sama lain.
Selanjutnya, untuk pertanyaan terakhir atau pertanyaan ketiga, dia menjawab privilage cukup berperan. Setidaknya bisa memulai tidak dari bawah sekali. Kak Fransisca mengambil contoh privilage berupa dana. Tentunya dengan bantuan dana dari berbagai pihak memudahkan pelaksanaan kegiatan daripada tidak ada dana sama sekali. Tanpa adanya privilage tersebut, diperlukan usaha ekstra karena memulainya dari nol. Dia menegaskan bahwa ada tidaknya privilage, pemberdayaan ekonomi desa tetap bisa dilakukan. Hanya saja prosesnya lebih mudah apabila ada privilage.
Setelah menjawab ketiga pertanyaan tersebut, pembawa acara memohon kepada para peserta untuk on cam supaya wajah mereka bisa terlihat saat proses screenshoot sebagai dokumentasi. Berikut gambar dokumentasi dari kegiatan Menjadi Pengabdi:
Kemudian, diadakan sesi penyerahan sertifikat oleh ketua pelaksana kepada Kak Fransisca selaku pembicara. Dan acara pun selesai pada pukul 14.30 lebih sedikit.
Sungguh kegiatan yang menambah banyak wawasan. Semoga kegiatan ini menjadikan para pengabdi lebih siap dalam mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia. Cukup dimulai dari pengabdian yang kecil-kecil dahulu. Karena pepatah pernah berkata sedikit-sedikit menjadi bukit.
Sekian dulu untuk kali ini dan thanks, Sob!
Komentar
Posting Komentar
silakan berkomentar!