Menghadapi Tantangan Produktivitas di Masa New Normal dengan Pengembangan Tourism as Home Industry

Cerita orang-orang saat ini kebanyakan seputar keresahan mereka menghadapi wabah COVID-19. Wabah ini, saking lamanya menetap dan tak pergi-pergi, pemerintah sampai menciptakan istilah Masa New Normal. Masa New Normal merupakan masa di mana masyarakat tetap berkegiatan sesuai kebiasaanya sehari-hari dengan tetap menerapkan protokol kesehatan selama wabah COVID-19 masih berlangsung. Tujuannya supaya masyarakat tetap produktif, tetapi aman dari penularan COVID-19.

Akan tetapi, dalam kenyataannya, kebijakan New Normal ini belum cukup untuk mengatasi penyebaran COVID-19. Pada akhirnya, pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM yang pertama kali dimulai pada 11-15 Januari 2021. Puncak keresahan masyarakat terjadi pada PPKM DARURAT akhir-akhir ini yang dimulai pada 3-20 Juli 2021, dan kabarnya masih akan diperpanjang lagi entah sampai kapan. Hal ini merupakan tantangan besar bagi masyarakat dan berpengaruh terhadap produktivitasnya untuk memenuhi kreativitas.

Dari sekian banyak masyarakat yang merasakan tantangan besar, salah satu di antaranya adalah saya sendiri!

Untuk itu, saya berpikir keras supaya bisa mengatasi masalah ini. Pasalnya, PPKM DARURAT menyebabkan saya tidak bisa ke mana-mana dan berakhir malas-malasan di dalam rumah. Saya tidak ingin itu terjadi. Namun, untunglah saya mendapat informasi tentang adanya sebuah kegiatan (webinar) yang sangat menggugah semangat saya dan tentunya sangat berguna bagi saya agar tidak gabut di rumah. Kegiataan tersebut bernama Tourism Talk #1 yang diadakan oleh Komunitas Mahasiswa Diploma Pariwisata, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada.

Saya akui, memang bukan kegiatan yang seru dalam hal keseruan yang sebenarnya. Duduk di depan gadget sembari menyimak pembahasan melalui virtual meeting merupakan kegiatan yang membosankan. Namun untuk kegiatan ini, ternyata tidak. Selama kurang lebih tiga jam, pembahasan mengenai pariwisata sebagai industri rumahan rupanya seru sekali. Hal itu tidak terlepas dari pematerinya yang seorang praktisi di bidang pariwisata sehingga pemateri sangat memahami konteks bahasan.

Saya ikut kegiatan ini lantaran ada salah satu teman saya yang mem-posting poster kegiatan ini di status WhatsApp. Begitu melihatnya, saya tertarik dan bertanya-tanya, kegiatan apa ini? Ikut saja ah, mumpung gabut di rumah, barangkali mendapat wawasan baru yang cukup berguna dan menambah pengalaman. Toh jarang juga kegiatan bertema seperti ini, tentang pariwisata.

Setelah itu, saya langsung mendaftar melalui link formulir, dan masuk ke grup WhatsApp kegiatan. Grup tersebut sebagai jembatan penghubung antara peserta dan panitia dalam menyampaikan informasi seputar pelaksanaan kegiatan..

Tourism Talk #1 (Tourism as Home Industry) dengan pembicara yaitu Bapak Dr. Hery Santoso, antropolog dan board director of Java Learning Centre. Kegiatan tersebut dibawakan oleh Kak Adinda Prameswari selaku Master of Ceremony. Kegiatan ini berlangsung pada Kamis, 8 Juli 2021 pukul 10.00 s/d 13.00 WIB.

Pukul sepuluh kurang, panitia sudah membagikan tautan untuk masuk ke Zoom bagi peserta. Kemudian, kegiatan dimulai pada pukul sepuluh tepat.

Kak Adinda selaku MC membuka kegiatan dengan baik, lalu diikuti oleh sambutan-sambutan dari panitia. Dan tidak lama kemudian, masuk kegiatan inti, yaitu materi.

Kegiatan ini menjadikan saya paham mengenai perubahan masyarakat, yang dijelaskan dengan luar biasa oleh Bapak Hery. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan masyarakat terhadap pariwisata. Dan perubahan ini didorong oleh revolusi teknologi informasi yang begitu signifikan.

Bapak Hery menjelaskan tiga jenis masyarakat yang terus berubah. Pertama adalah masyarakat subsistensi, kedua masyarakat konsumsi, dan ketiga adalah masyarakat informasi. Masing-masing dari jenis perubahan masyarakat ini mempunyai ciri yang berbeda. Akan diuraikan sebagai berikut.

Masyarakat subsistensi, masyarakat ini adalah masyarakat yang masih mementingkan kebutuhan primer. Kehidupan masyarakat ini hanya seputar untuk memenuhi kebutuhan primer mereka seperti: sandang, pangan, dan papan. Masyarakat ini tidak memikirkan tentang pariwisata. Bisa dibilang, pariwisata bukan termasuk dalam list kebutuhan hidup mereka.

Kemudian masyarakat konsumsi, masyarakat ini sudah mulai berpikir keluar dari kebutuhan primer. Masyarakat ini mulai mengenal rekreasi atau pariwisata. Namun bagi mereka, rekreasi adalah hal yang begitu mewah sehingga banyak di antara mereka yang kesulitan untuk melakukannya.

Terakhir, masyarakat informasi. Masyarakat ini adalah perubahan masyarakat yang sudah menganggap rekreasi atau pariwisata sebagai kebutuhan primer mereka. Sehingga, bagi mereka, pariwisata harus mudah dijangkau (terutama dari segi biaya). Sampai munculnya istilah wisata virtual. Bapak Hery menjelaskan wisata virtual yang dimaksud misalnya seperti menonton Youtube dan lain sebagainya. Kemudian, inilah yang mengacu pada tema kegiatan ini, Tourism as Home Industry. Wisata virtual murah ini yang bisa dikembangkan sebagai wisata berbasis Home Industry.

Bapak Hery mencontohkan salah seorang temannya yang awal mula bekerja sebagai petani, karena dorongan perkembangan teknologi informasi, dia merekam kegiatannya berkebun, menangkap ikan, dan kegiatan lain khas orang desa. Lalu di-upload melalui kanal Youtubenya, akhirnya ia menjadi seorang Youtuber. Pengalaman sebagai orang desalah yang ditawarkannya kepada penonton. Penonton—kebanyakan adalah orang kota—bisa merasakan experience yang belum pernah dirasakannya dan itulah value dari berwisata, merasakan experience yang belum pernah dirasakan. Tourism as Home Industry bisa diwujudkan salah satunya dengan seperti itu, membuat konten-konten wisata di media sosial. Tidak hanya Youtube, bisa Instagram, Tiktok, Blog, dan lain sebagainya.

Perubahan masyarakat informasi ini juga membuat tradisi media sosial semakin menjamur. Hal itu mengakibatkan objek pariwisata yang tidak bisa mengikuti zaman akan gulung tikar alias bangkrut. Sebelum menjelaskan alasannya, Bapak Hery menjelaskan dua jenis pariwisata terlebih dahulu. Setelah itu, akan terlihat mengapa pariwisata yang tidak mengikuti perkembangan zaman akan bangkrut atau sepi peminat.

Yang pertama adalah wisata lanskap. Wisata ini adalah wisata pra-milenial atau penikmatnya yaitu para orang tua. Yang ditawarkan biasanya pemandangan-pemandangan sebagai sebuah pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Wisata jenis ini membutuhkan ruang yang luas dan investasi yang besar. Misalnya Pulau Komodo, Candi Prambanan, Candi Borobudur, Taman Nasional, Pantai-pantai, dan seterusnya, dan seterusnya.

Kedua adalah wisata spot. Wisata ini adalah wisata milenial atau penikmatnya yaitu para anak muda. Biasanya golongan orang yang sudah tua kurang menikmati wisata spot ini. Begitu juga sebaliknya, golongan anak muda lebih menyukai wisata spot daripada wisata lanskap. Hal ini berkaitan erat dengan tradisi media sosial di kalangan anak muda. Yang mereka cari adalah foto untuk mengisi media sosial mereka secara real time, yang sekarang sudah bisa didukung oleh kecanggihan teknologi. Dulu, untuk potret saja harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan hasil gambarnya. Dengan alasan seperti itu, wisata spot semakin berjaya. Contoh wisata spot yang ada di Yogyakarta adalah Heha Sky View dan Wisata Alam Kalibiru. Atau Punthuk Setumbu yang ada di sekitar Kawasan Wisata Candi Borobudur. Dan masih banyak lagi wisata spot yang tersebar di seluruh Indonesia.

Heha Sky View
sumber: instagram.com/dikky_susilo/

Wisata Alam Kalibiru
sumber: hargatiket.net

Dari penjelasan kedua jenis wisata itu, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk zaman sekarang, pariwisata yang tidak mengikuti perkembangan zaman akan terus tergerus eksistensinya. Sedangkan, pariwisata yang mengikuti perkembangan zaman akan terjaga eksistensinya, salah satunya adalah wisata spot.

Salah satu wisata spot yang Bapak Hery ikut andil dalam pengelolaannya adalah Wisata Alam Kalibiru. Wisata Alam Kalibiru terletak di Kalibiru, Hargowilis, Kokap, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Bapak Hery bercerita sedikit mengenai pengalamannya dalam mengelola wisata spot di Kalibiru ini.

Pada awalnya, wisata ini adalah hutan pemerintah seluas 27 hektare yang dilimpahkan ke masyarakat setempat untuk dikelola. Pertama kali hendak dijadikan sebagai tempat untuk lahan tanaman obat. Namun, tidak jadi karena apabila dijadikan lahan tanaman obat, dibutuhkan lahan yang cukup luas dan investasi yang cukup besar karena lahan tanaman obat sudah seperti wisata lanskap. Akhirnya, hutan tersebut dijadikan sebuah wisata spot yang menawarkan spot foto berupa langit dan pemandangan.

Penggunaan hutan ini untuk wisata spot juga hanya 2 hektare dari total 27 hektare. Lumayan menghemat tempat, bukan? Selain itu, wisata ini juga terus meningkat jumlah pengunjungnya dan menjadi booming pada 2016 hingga 443.070 pengunjung dalam satu tahun. Wisata Alam Kalibiru saat itu menjadi wisata spot perintis dari wisata spot yang ada di Yogyakarta. Selain itu, Wisata Alam Kalibiru juga dikelola langsung oleh masyarakat setempat dengan bantuan beberapa pihak luar yang profesional. Wisata ini juga mendorong para perantau kembali ke tempat asal mereka, Kalibiru. Para perantau ini menilai peluang kerja di daerah asal mereka sangat berpotensi dan bekerja sebagai pegawai atau pengusaha adalah salah satu pilihannya. Ternyata pembentukan suatu daerah menjadi daerah wisata sangat membantu pertumbuhan ekonomi para penduduknya.

Industri wisata rumahan, sepeti Wisata Alam Kalibiru, memiliki beberapa tantangan dalam mempertahankan eksistensinya. Bapak Hery menjelaskan ada tiga tantangan, pertama pembaruan intensif, kedua tekanan pemodal, dan ketiga replikasi.

Pembaruan intensif yang dimaksud adalah wisata spot harus terus berinovasi terhadap wahana-wahana yang ditampilkan. Tanpa pembaruan, wisata spot akan ketinggalan zaman dan berujung kebangkrutan. Pengunjung yang sudah pernah ke sana akan enggan untuk datang kembali karena merasa masih sama dengan yang dulu. Berbeda ceritanya bila ada yang baru, pengunjung akan mendatangi kembali karena merasa penasaran dengan wahana spot foto seperti apa yang belum mereka coba.

Kemudian, tekanan pemodal yang dimaksud adalah wisata spot rumahan akan kalah bersaing dengan wisata spot yang memiliki pemodal besar. Modal yang besar menjadikan tempat wisata lebih bagus dan lebih menarik. Pengunjung akan cenderung memilih wisata spot yang lebih bagus dan akibatnya yaitu tergulungnya industri wisata spot rumahan.

Tantangan yang ketiga adalah replikasi. Replikasi yang dimaksud adalah mudahnya para kompetitor membuat wisata spot yang sama persis di tempat lain. untuk kedepannya, Bapak Hery berharap adanya hak cipta bagi sebuah objek wisata agar tidak ada lagi objek wisata yang direplikasi.

Di penghujung acara, tidak lupa Bapak Hery menjelaskan cara menaikkan jumlah pengunjung suatu objek wisata. Menurutnya menggunakan media sosial sudah cukup. Sebenarnya wisata spot akan berkembang secara otomatis dengan konsep planet dan satelit. Misalnya Wisata Alam Kalibiru berkembang karena dia adalah satelit dari Jogja. Jogja sebagai planetnya. Tanpa planet wisata, wisata spot akan sulit untuk berkembang. 

Akibat dari perubahan masyarakat subsitensi ke masyarakat informasi, pariwisata terus menyesuaikan dirinya agar tetap eksis. Wisata virtual dan wisata spot adalah contoh bentuk penyesuaiannya dan sangat bisa dikembangkan selama Masa New Normal.

Pembahasan yang seru bukan? Kegiatan tersebut menjadikan saya termotivasi untuk terus produktif penuhi kreaifitas di Masa New Normal dengan mengembangkan wisata virtual. Sehingga tantangan dan masalah yang saya alami mendapatkan solusi yang baik dan tepat sasaran. Langkah yang akan saya ambil adalah pengembangan wisata virtual sebagai industri wisata rumahan. Banyak potensi wisata di daerah saya—Kabupaten Magelang—yang sangat cocok sebagai objek wisata virtual.

Dan saya akan memulainya dalam bentuk konten tulisan wisata menggunakan media Blog!

Komentar

Baca Juga