Aku dan Fisika

 

dokumen pribadi

Akhir-akhir ini aku pergi ke gudang penyimpanan buku dan menemukan sebuah buku agak besar berwarna hijau. Tidak begitu kotor, dan tergeletak manis di atas meja kaca yng sedikit berdebu. Dalam sampul buku itu, terdapat tulisan “Dasar-Dasar Fisika Universitas”. Yeah, ternyata itu adalah buku pemberian dari adik teman Ibuku. Yang sebelumnya pernah berkuliah di jurusan Teknik Fisika. Aku menerimanya karena barangkali bermanfaat untuk kedepannya.

Namun, takdir berkata lain. Sekarang, aku tidak lagi bergulat dengan Fisika. Aku sedikit kecewa, tetapi tidak apa-apa. Mengingat Fisika adalah mata pelajaran yang telah membesarkanku, aku tidak akan pernah melupakannya seperti halnya kacang yang tidak lupa dengan kulitnya.

Buku hijau tersebut kembali mengingatkanku pada hari di mana aku pertama kali berjumpa dengan Fisika. Yap, waktu kelas 7.

Apabila mengingatnya kembali, aku akan tertawa karena kepolosanku sendiri. Namanya juga anak kecil, dulu belum tahu apa itu Fisika dana pa itu Biologi. Aku hanya tau mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Yeah, hanya mata pelajaran IPA. Dan! Menengok di MTs kalau IPA dibagi menjadi dua, membuatku bingung tujuh galaksi. Apa beda dari Fisika dan Biologi? Aku tidak tahu waktu itu.

Mungkin aku bisa menceritakan sedikit ketika para siswa baru ini disuruh untuk memilih kelas olimpiade sesuai bidang masing-masing. Ternyata di dalamnya termasuk memilih antara Fisika dan Biologi! Oh, Man. Aku bingung memilihnya. Waktu sekolah dasar, dulu aku ikut lomba mata pelajaran IPA. Pikirku, aku akan meneruskannya di masa MTs ini. Dengan begitu, secara otomatis aku tidak akan masuk kelas olimpiade matematika.

Kebingunganku bertahan sampai hampir satu malam. Aku terus memikirkan kedua cabang IPA tersebut. Masuk kelas Biologi atau Fisika? Entahlah.

Pada akhirnya, aku justru memilih kelas olimpiade Fisika, wkwk. Kocak sih, cuma modal nekat asal pilih. Eh, tidak juga. Ternyata, aku mempertimbangkan namanya juga yang terdengar lebih keren ketimbang Biologi. Fisika terdengar lebih maskulin dan super badass.

Setelah beberapa minggu mengikuti kelas fisika, aku tidak menyesalinya. Ternyata nyaman, Woi! Gila sih, aku lebih senang membuat imajinasi tentang benda mati yang jatuh, bergerak, gaya, besaran, pengukuran dari pada membuat imajinasi tentang kondisi makhluk hidup seperti anatominya, hubungan antar makhluk hidupnya, dan ciri-ciri makhluk hidup lainnya.

Eh, bukan berarti aku tidak suka Biologi. Wkwk.

Biologi memang seru, aku juga bisa legowo untuk mempelajarinya. Bahkan, aku pernah membaca buku anatomi berkaitan dengan sistem peredaran darah sewaktu aku masih sekolah dasar. Dan herannya, kenapa aku masih ingat isi bacaan beberapa tahun silam itu!? Mungkin, waktu kecil aku penasaran dan akhirnya memutuskan untuk membaca. Karena rasa penasaran itu, aku masih bisa mengingatnya.

Hal tersebut aku sadari ketika aku tidak memperhatikan guru Biologiku yang sedang menerangkan Bab sistem peredaaran darah. Seingatku, konsentrasiku terpusat pada bacaan koran berisi sinopsis anime Koutetsojou no Kabaneri, ahaha. Kemudian, aku kepergok sedang membaca koran dan diberi hukuman untuk menjelaskan apa yang tadi sudah dijelaskan. Hmmm, bisa-bisanya aku menjelaskannya dengan lancar tanpa ada halangan suatu apapun padahal tidak memperhatikan. Akhirnya aku dilepas karena walau tidak memperhatikan, aku sudah memahaminya. Wow! Kekepoanku di masa lampau ternyata bisa menyelamatkanku di masa depan.

Yeah, Biologi hanya remah-remah peyek, kecil! (pikirku waktu itu, di kemudian hari aku menyesal pernah menyebutnya remahan peyek karena susah banget, huhu. Banyak hapalannya)

Itu sepenggal kisahku bersama Biologi.

Akan tetapi, kisahku bersama Fisika lebih seru lagi. Pokoknya, di mana ada aku, di situ ada Fisika. Sampai segitunya hubunganku dengan Fisika. Aku mulai membangun reputasiku di sekolah dengan membuat personal branding berupa “Cah Fisika”. Lomba demi lomba aku ikuti hingga aku sendiri lupa berapa jumlah lomba Fisika yang pernah aku ikuti, saking banyaknya.

Namanya manusia, ada kekalahan dan kemenangan yang aku alami. Wajar, aku tidak berputus asa. Hingga pencapaian tertinggi adalah menjadi juara dua provinsi di jenjang MTs, Wkwkw. Mau sombong tapi ga bisa karena hanya sebuah keberuntungan dan pemberian Gusti. Aku tidak menyangkanya dan seperti, wow ternyata aku bisa sampai sini. Mengharumkan nama sekolah dan nama diriku sendiri.

Setelah pencapaian itu, aku semakin percaya diri dan semakin dekat dengan Fisika. Bahkan ada kakak kelas yang minta bantuanku mengerjakan soal latihannya. Yeah, gampang! Soal yang biasa kukerjakan levelnya kadang lebih sulit dari itu. Aku membantunya. Namun, akhir-akhir ini, aku berpikir itu bukanlah suatu kebanggaan karena kakak kelas itu kemungkinan besar hanya memanfaatkanku. Tapi tidak apa, setidaknya aku sudah berbuat baik.

Personal branding tersebut aku teruskan sewaktu SMA. “Cah Fisika” akan kuusahakan untuk terus menempel pada jiwa dan ragaku. Hingga pencapaian tertinggi di SMA adalah menjadi juara satu di tingkat kabupaten. Aku sedikit kecewa karena menurun dari provinsi dan sekarang hanya kabupaten. Namun, aku tidak memedulikannya dan tetap bersyukur karena kata Fisika masih melekat pada diriku. Hanya itu yang aku inginkan.

Baik, Kawan. Mungkin dari sebagian banyak siswa menganggap Fisika adalah momok mematikan nan menyeramkan karena saking sulitnya. Namun, kenapa aku tetap mempertahankan kesukaanku kepadanya? Kan, terlihat aneh, atau sedikit berbeda dari siswa lainnya.

Oke, aku akan menjelaskannya. Ini sebenarnya sangat menjijikkan dan aku sangat sebal mengetahuinya. Jadi, aku tidak mempunyai bakat apapun. Olahraga, seni, aku tidak punya keahlian itu semua. Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya kenapa aku kesulitan untuk mengembangkan kemampuan olahraga dan seni. Serta, aku belum menemukan jawabannya. Menyebalkan.

Akhirnya, kutemukanlah Fisika yang bisa mengisi kekosonganku tersebut. Aku senang, aku bisa, aku menikmati, aku tidak marah ketika tidak paham pelajarannya, dan aku merasa jiwaku ada di sana.

Akan tetapi, semakin lama aku merasa jika Fisika saja tidak cukup untuk bertahan hidup di dunia ini. Aku perlu kemampuan lain yang bisa mendukungku terus eksis di dunia. Dan aku pun mencoba hal-hal baru yang barangkali aku suka dan akan berguna suatu saat nanti.

Haha, aku telah besar bersama Fisika. Namun, sekarang aku seperti dijauhkan darinya, dijauhkan dari sahabat karibku sendiri. Melihat buku hijau itu, aku jadi ingin membukanya sekali lagi dan mengingat memori lama yang telah kita lalui bersama. Menjelajahi ruang dan waktu dalam kinematika, dinamika, statika, kelistrikan dan magnet, besaran dan satuannya, dan lain sebagainya. Aku tidak akan menjadi kacang yang lupa kulitnya.

Inti celoteh ini…. Apa ya? Aku tidak tahu. Hanya ingin menulis lagi setelah menyelesaikan 6,25% perjalanan dunia perkuliahan yang ditandai dengan usainya ujian tengah semester.

Thanks,  

Komentar

Baca Juga