Passion

Hai, Sob!

Ternyata makan singkong rebus manis enak juga. Di daerahku, cemilan ini bernama Bajingan. Istilah jawanya, telo cemplungke badheg. Yaitu singkong yang direbus dalam nira kelapa. Singkong rebus biasa rasanya gurih, bahkan hampir hambar. Namun, bila dimasukkan ke dalam badheg (nira kelapa), rasanya menjadi manis dan begitu lezat. Warnanya pun tambah menarik, singkong rebus yang berwarna putih berubah menjadi kuning menggoda saat dibuat bajingan.

Aku tidak akan membahas bajingan lebih dalam. Aku akan membahas hal yang terbesit di kepalaku saat sedang makan bajingan beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan bajingan ini. Justru bisa dibilang, jauh sekali dengan bajingan.

Tiba-tiba saja, aku melihat cangkul dan bagor yang digunakan untuk memanen singkong di pojok ruangan. Seketika aku teringat sebuah cerita mengenai petani yang berangkat ke sawah. Cerita ini bukan cerita panjang. Menurutku, ini bukan cerita malah. Hanya sebuah perumpamaan sederhana yang dijelaskan oleh Pak Guruku waktu di sekolah.

Pak Guruku itu menjelaskan sebuah gagasan pendidikan di Indonesia yang gagasan itu menimbulkan pertanyaan bagi banyak siswa, "Mengapa siswa Indonesia mempelajari banyak pelajaran sekaligus? Tidak mempelajari satu bidang keilmuan saja sehingga lebih terfokus." Begitu kira-kira kalimat pertanyaannya.

Menurutku, pertanyaan tersebut menggiring opini bahwa lebih baik mempelajari satu bidang saja sehingga menjadi profesional di bidang tersebut daripada mempelajari banyak bidang, tetapi justru tidak ada satu pun dari bidang itu yang benar-benar dikuasai. Opini tersebut menganggap bahwa dengan mempelajari banyak bidang, seseorang akan melakukan eksplorasi terus menerus terhadap bidang baru hingga tidak ada waktu untuk mendalami suatu bidang secara menyeluruh. Akhirnya, orang itu tidak memiliki spesifikasi khusus yang membedakan dia dengan orang lain. 

Pak Guruku itu menjawabnya dengan perumpamaan petani yang berangkat ke sawah. Pasti kalian pernah melihat seorang petani. Petani ketika pergi ke sawah, dia tidak hanya membawa satu alat saja. Misal petani hendak memanen padi. Dia tidak hanya membawa ani-ani, tetapi juga membawa cangkul, bagor, arit, bendo, caping, tambang, dan sebagainya.


petani sedang memanen padi 
sumber: pixabay


Tujuan utamanya memang ingin memanen padi. Jadi, yang wajib petani bawa adalah ani-ani. Peralatan lain digunakan bila barangkali di perjalanan melihat rumput tumbuh gemuk-gemuk, yang lebatnya sampai mengganggu jalan. Petani bisa menggunakan arit yang dia bawa untuk memangkas rumput. Kemudian dibawa pulang dengan bagor dan tambang untuk diberikan kepada hewan ternaknya. 

Peralatan lain seperti bendo juga berguna bila barangkali ada bambu yang cukup bagus, bisa ditebang dan dibawa pulang, atau mendapati sebuah kelapa muda yang menggiurkan, petani bisa menggunakan bendonya untuk membuka kelapa muda itu. Dan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa dilakukan dengan bendo.

Lalu, cangkul juga berguna bila ternyata ada jalan setapak menuju sawah yang rusak. Petani bisa memperbaiki jalan setapak itu dengan mencangkuli tanah di sekitarnya. Betujuan untuk menambah atau mengurangi tanah sehingga jalan setapak itu mudah dilewati lagi.

Tidak lupa pula, caping dibawa petani untuk melindungi diri dari sengatan panas matahari. Walau tidak berhubungan langsung dengan proses memanen padi, pemakaian caping ini begitu krusial. Bayangkan saja petani berpanas-panasan di sawah tanpa mengenakan caping. Memanen padi tidak, pingsan iya.

Logis, bukan? Bila mempelajari banyak pelajaran sekaligus, menjadikan siswa lebih siap menghadapi apapun yang akan terjadi di masa depannya. Seperti perumpamaan petani yang berangkat ke sawah tadi.

Kalau begitu mana yang harus dipakai? Fokus terhadap satu bidang hingga menjadi seorang ahli atau mempelajari banyak bidang dan berharap suatu saat bidang itu akan berguna.

Dua pendapat tersebut benar. Tidak ada yang salah. Aku menyetujui semuanya. Namun, dalam pengalamanku, aku menerapkan yang mempelajari banyak bidang. Alasannya kenapa? Karena ingin mencoba banyak bidang, sebanyak-banyaknya, hingga aku menemukan sebuah bidang di antara banyak bidang tersebut yang benar-benar menjadi passionku.

Maksudnya, aku benar-benar nyaman dengan bidang tersebut, aku benar-benar merasa tidak ada beban yang begitu berat saat aku melakukan kegiatan di bidang tersebut, aku merasa inilah yang akan aku lakukan untuk menikmati masa hidup, dan aku benar-benar percaya bidang ini adalah jalan ninjaku.

Pada akhirnya, aku akan menerapkan yang fokus terhadap satu bidang dan menjadi profesional di bidang tersebut. Tentunya, hal itu terjadi setelah aku mencoba sangat banyak bidang yang menguras waktu dan tenaga untuk mempelajarinya. Namun, bidang-bidang yang pernah aku pelajari juga tidak serta merta menjadi hal yang sia-sia. Pasti suatu saat berguna, setidaknya aku bisa berkata, "Oh ini, aku tahu caranya, dulu pernah belajar." Semua itu aku jalani hanya untuk mencari passion.

Selain passion, ada juga bakat. Untuk bakat sendiri, aku bisa mengatakan ini adalah suatu kepercayaan di otak manusia. Banyak orang mengatakan bakat itu bawaan lahir. Ya, aku tidak menyalahkannya. Manusia mengatur otak mereka untuk percaya bahwa dalam suatu bidang mereka berbakat dan bakat itu sudah mereka dapatkan sedari lahir. Di sisi lain, manusia juga mengatur otak mereka untuk percaya bahwa dalam suatu bidang mereka tidak berbakat sama sekali dan tidak berbakat itu sudah terjadi sejak lahir. Padahal, suatu bakat terbentuk setelah latihan keras mereka yang kebanyakan sudah dilakukan sejak kecil. Mungkin hal itu yang memicu kepercayaan bahwa bakat adalah bawaan lahir.

Misalnya aku, aku berpikir jika aku tidak berbakat pada seni bermusik. Aku tidak bisa memainkan alat musik apapun. Aku tidak bisa bernyanyi. Aku tidak bisa apa-apa tentang musik. Bahkan bisa dibilang, aku adalah orang yang buta nada. Intinya aku tidak bakat di bidang ini. Namun, aku yakin ini bukan bawaan lahirku.

Andaikan aku sejak kecil sudah dicekoki tentang musik, kemudian aku suka bidang tersebut. Aku menemukan passion di sana. Niscaya aku menjadi pemusik handal sekarang. Seperti kebanyakan teman-temanku di sekolah, aku terkadang iri dengan kehebatan bermusik mereka.

Meskipun begitu, aku tidak menyesalinya. Memang dari dulu aku tidak diarahkan oleh orang tuaku ke bidang tersebut dan aku juga tidak menaruh minat kepadanya. 

Kemudian, aku merasa berbakat dalam bidang suatu mata pelajaran. Ini hanya pendapatku pribadi. Jadi, kesannya menyombongkan diri. Padahal, bisa jadi saat aku dites pada bidang tersebut, ternyata gagal atau bahkan kurang berbakat. Namun, aku merasa punya bakat di situ. Lagi-lagi, penyebabnya karena sejak kecil aku diarahkan ke sana. Dan untungnya, aku senang dengan bidang tersebut. Hingga kini pun aku tetap merasa senang menjalaninya.

Andaikan aku dulu diarahkan ke sana, tetapi aku tidak senang dengan bidang tersebut. Bisa jadi aku merasa tidak berbakat di bidang tersebut sekarang. Kemudian, menanamkan kalimat, "Aku tidak bakat" berulang kali di dalam otak dan akhirnya menjauhi bidang tersebut sampai membencinya. Aku pun tidak akan menjadi seperti aku yang sekarang.

Dengan begitu, aku bisa mengatakan jika bakat dapat terbentuk saat ada minat dan passion di bidang bakat tersebut. Manusia memang punya bakatnya masing-masing, baik yang terpendam maupun yang sudah tampak. Bakat-bakat tampak inilah yang muncul akibat manusia itu menaruh minat dan passion ke dalamnya. Sedangkan bakat terpendam ini tidak muncul karena tidak ada minat dan passion di dalamnya. Ya bakat, tetapi orang itu tidak enjoy melaksanakannya. Buat apa?

Cukup panjang juga ocehanku kali ini. Pertama tadi membahas bajingan, kemudian merembet sampai bakat. Bila masih diteruskan mungkin tak akan selesai. Kalau begitu sampai sini dulu.

Sekian dan thanks, Sob!



Komentar

Baca Juga