Mencari Core of The Core
Belum lama ini, aku mengamati tunas kelapa yang baru mulai tumbuh di pot depan rumahku. Di bawahnya ada akar yang baru muncul. Setahuku, akar pohon kelapa itu akar serabut, tetapi di tunas kelapa itu justru akar tunggang yang muncul. Oh, atau rambut-rambut akar kecil di sekitar akar tunggang itu yang nanti akan menjadi akar serabut? Mungkin iya.
sumber: pixabay |
Terlepas dari itu, sebenarnya aku bukan ingin membicarakan tentang kelapa. Bukan tentang bentuk pohonnya, bukan tentang bentuk akarnya, dan juga bukan tentang bentuk daunnya. Melainkan akan membicarakan tentang perbandingan. Jauh amat? Entahlah, tiba-tiba kepikiran tentang itu.
Sebelum masuk lebih dalam, aku ingin bercerita mengenai sebuah perbandingan antara kehidupan anak manusia dengan santan kelapa. Mungkin cerita ini yang menggiringku, yang membuatku kepikiran tentang perbandingan ketika melihat tunas kelapa.
Jadi dulu, dulu sekali, aku pernah ikut sebuah kumpulan. Kalau tidak salah, kumpulan wali santri baru. Di sana ada para guru, kepala sekolah, wali santri, dan santri itu sendiri. Aku salah satu santri di antara mereka. Kepala sekolah memberi sambutannya. Di sambutan itulah dijelaskan mengenai perbandingan antara kehidupan anak manusia, atau santri, dengan proses pembuatan santan.
Seorang anak manusia seperti halnya sebuah kelapa. Untuk mendapatkan santan yang gurih dari sebuah kelapa, diperlukan usaha yang cukup sulit. Kelapa itu harus disula (diselumbat istilah Jawanya), harus dipecahkan (dipelathok istilah Jawanya), harus dicungkil, harus diparut, harus diperas, hingga keluar air santannya.
Air santan adalah perbandingan seorang anak manusia yang 'gurih', anak manusia yang akan menjadi manusia yang sesungguhnya. Anak manusia yang sukses. Untuk mewujudkannya, anak manusia itu perlu digembleng layaknya kelapa tadi. Salah satunya yaitu menjadi seorang santri. Dan menjadi santri tidaklah mudah, karena di dalamnya akan dipelathok, diparut, diperas hingga menjadi santan yang gurih.
Nah, perbandingan seperti itulah yang akan aku bicarakan.
Lanjut.
Untuk memudahkan suatu hal, sering kali manusia menggunakan perbandingan-perbandingan. Pasti pernah mendengar meskipun hanya sekali seumur hidup. Karena memang perbandingan ini adalah salah satu metode penjelasan yang cukup mudah dicerna oleh otak manusia.
Yang dimaksud perbandingan di sini adalah mengibaratkan sesuatu yang rumit menjadi layaknya sesuatu yang lebih sederhana dengan proses sistem yang hampir sama. Mencari yang 'hampir sama' itu hanya bisa dilakukan oleh sosok yang benar-benar paham. Sosok yang benar-benar paham bisa merekontruksi hal rumit di dalam kepalanya, mencari inti dari inti, core of the core, dan menghasilkan sebuah kesederhanaan dalam kerumitan. Sehingga, dia bisa berkata, "Oh, hanya begitu." Kata 'hanya begitu' itulah yang menandakan dia sudah menemukan core of the core.
Sejatinya, sesuatu yang dianggap rumit itu bersifat subjektif. Begitu juga sesuatu yang dianggap simpel. Nah, kata simpel lebih mudah ditulis daripada kata sederhana. Bagi setiap orang, definisi rumit dan simpel berbeda-beda. Sesuatu bisa orang sebut rumit padahal bagi orang lain itu simpel. Atau sebaliknya, sesuatu bisa orang sebut simpel padahal bagi orang lain itu rumit.
Mata pelajaran kimia misalnya. Lebih khusus materi sifat koligatif larutan. Bagiku itu materi yang rumit. Berpuluh-puluh kali coba memahami ternyata pemahamanku salah. Berpuluh-puluh kali mencari core of the corenya, sudah ketemu, eh terlupakan. Sudah berkata, "Oh, hanya begitu." Ternyata 'hanya begitu' yang palsu. Saat mengerjakan soal, ya tetap mubal otaknya. Saking rumitnya.
Akan tetapi, kenapa ada temanku yang fafifu wasweswos menghadapi materi itu? Cepat sekali bisa paham. Aku sedikit kecewa karena diperbandingkan. Nah, ini perbandingan yang berbeda dari perbandingan yang aku sebutkan tadi. Jadi, gara-gara aku tidak bisa-bisa menguasai materi itu, aku dinasihati, eh bukan dinasihati, tetapi dibanding-bandingkan. "Si Fulan saja bisa menguasainya dalam beberapa minggu, kenapa kamu tidak? Padahal kalian ikut kegiatan yang sama dan mengejar materi dari waktu yang sama pula."
Oh, Man. Waktu itu, aku hanya meng-iya-kan dan berkata bahwa aku akan berusaha untuk lebih baik lagi. Kemudian, aku sadar jika kemampuan otak antara si Fulan dan aku berbeda. Sesuatu yang aku anggap rumit rupanya simpel bagi si Fulan. Dan mungkin ada hal yang aku anggap simpel ternyata Fulan menganggapnya rumit. Ya itu tadi, simpel dan rumit adalah sesuatu yang subjektif.
Di sini mulai ketemu apa fungsi perbandingan tadi. Aku ulangi, perbandingan adalah mengibaratkan sesuatu yang rumit menjadi layaknya sesuatu yang lebih sederhana dengan proses sistem yang hampir sama. Ini adalah definisi menurut pendapatku. Bolehlah ya, boleh. Coba kita tengok KBBI,
Perbandingan inilah yang membantu orang dalam menyimpelkan sesuatu. Perbandingan digunakan oleh si penganggap simpel kepada si penganggap rumit sehingga si peganggap rumit menganggap hal rumit menjadi hal simpel.
Bingung? Sepertinya iya. Aku juga bingung membacanya.
Begini saja. Kembali ke cerita awalku tentang santan kelapa. Penganggap simpel adalah kepala sekolah. Penganggap rumit adalah para hadirin. Hal yang simpel adalah pembuatan santan kelapa. Dan hal yang rumit adalah pembuatan anak manusia menjadi sukses.
Kepala sekolah yang sudah paham mengenai mendidik anak menjadi sukses menggunakan perbandingan untuk menjelaskan kepada hadirin bahwa mendidik anak menjadi sukses bisa disimpelkan sesimpel membuat santan. Para hadirin pun akan berpikir simpel seperti apa yang dijelaskan kepala sekolah.
Contoh lain, selawatan kepada Nabi Muhammad SAW. Kenapa dapat berkah, dapat pahala, kenapa perlu selawat? Itu adalah hal yang rumit. Setidaknya aku pernah menganggapnya rumit. Namun, aku pernah dijelaskan oleh salah satu guruku, dengan perbandingan juga, Nabi Muhammad SAW itu ibarat sebuah gelas yang penuh air. Ketika gelas itu terus diisi air, apa yang terjadi? Akan ada air yang tumpah. Sama halnya ketika terus berselawat, orang yang berselawat akan mendapat tumpahan berkah, pahala, hal-hal baik dari Nabi Muhammad SAW. Sesimpel itu.
Lagi, salah satu guru Fisikaku pernah membuat perbandingan untuk menjelaskan materi gelombang. Sampai sekarang aku masih ingat karena memang jadi sesimpel itu. Suatu gelombang yang memiliki amplitudo besar akan menghasilkan suara yang keras (sengko istilah Jawanya). Semua murid kebingungan, apa maksudnya? Lalu, guru Fisikaku itu menjatuhkan penghapus papan tulis ke lantai. Suara jatuhnya keras. Terus mengulanginya dengan jarak yang lebih tinggi. Suara jatuhnya tambah keras. Nah, jarak ketinggian itulah sama halnya amplitudo gelombang. Dengan perbandingan itu, murid-murid jadi berkata, "Oh, hanya begitu."
Akan tetapi, ada juga perbandingan-perbandingan yang tidak valid. Biasanya dibandingkan oleh sosok yang kurang paham. Di sinilah perlunya pikiran kritis manusia. Apakah suatu perbandingan itu benar atau tidak. Misalnya, aku pernah membandingkan sebuah materi di pelajaran Kimia, tepatnya materi asam basa. Aku menyimpelkan basa ibarat sebuah sabun. Kemudian, ketika sakit tukak lambung karena asam lambung, pastinya bisa dinetralkan dengan basa kan ya? Karena perbandingan basa adalah sabun, berarti tinggal meminum sabun selesai. Sembuh tukak lambungnya.
Ternyata tidak valid. Sembuh tidak, mati iya. Perbandingan seperti itu dijelaskan oleh orang yang kurang paham tentunya. Dan masih banyak lagi contoh perbandingan tidak valid lainnya.
Ada pernyataan yang sangat aku sukai terkait bahasan ini. Kurang lebihnya seperti ini, "If you can't explain it to a six years old, you don't understand it yourself."
Jika kamu tidak bisa menjelaskan pada bocah enam tahun, kamu sendiri belum mengerti.
Jadi, misalnya ada orang yang menjelaskan sesuatu, tetapi penjelasannya berbelit-belit. Tandanya orang itu belum paham seratus persen. Atau bisa jadi yang diberi penjelasan memang lemot, lola, tidak paham-paham. Sudah disederhanakan masih bingung. Bukan salah pemberi penjelasannya juga. Wkwk
Kesimpulannya, perbandingan itu bisa menjadi salah satu cara menjelaskan sesuatu dengan sederhana. Dan tingkat kerumitan dan kesederhanaan sesuatu bagi setiap orang itu berbeda. Tidak adil rasanya jika dipukul rata.
Oke, sekarang apakah penjelasanku dari keseluruhan itu sudah jelas? Kalau belum, aduh ternyata aku belum paham. Sekarang kembali mencari core of the core dan mengamati tunas kelapa!
Tunas kelapa adalah lambang pramu....
Wes-wes malah ra rampung-rampung.
Komentar
Posting Komentar
silakan berkomentar!