Seizra



Sorak-sorak dukungan para supporter telah usai beberapa waktu yang lalu. Kini, mereka sudah lelah. Pemenang dari lomba robot line follower telah ditentukan. Para penonton serta pemain pulang menuju rumah masing-masing dengan rasa kecewa karena gagal menyabet juara. Dan tentunya hal tersebut tidak berlaku bagi sang juara yang terukir senyum bahagia di wajahnya. Hanya dia, dan beberapa pendukungnya. 

Pintu mobil telah dibuka, aku duduk di baris paling belakang. Di sampingku ada dua anak, usia sekitar empat belas tahun dan aku duduk di paling kanan. Ini adalah posisi yang luar biasa untuk melihat kondisi jalanan kota Magelang di sore hari menjelang malam. 

Ya, kegiatan lomba dari pagi sampai sore hari sangat menguras emosi dan tenaga. Terkadang merasa geram dengan robotku sendiri karena tak mau jalan ketika waktunya tiba. Begitu juga dengan teman-temanku, kalah di perempat final dan pupus harapan bertanding di partai final. 

Terlepas dari itu semua, di depanku, telah duduk seorang gadis bernama Seizra. Ya, teman seperjuanganku dalam lomba robot ini. Selain itu, dia juga teman yang aku perjuangkan perasaanya. Ah, perjuangan. Seperti sangat melelahkan. Namun, kenyataannya memang melelahkan. 

Entah mengapa, hanya duduk di belakangnya saja dapat membuat dadaku berdegup cukup kencang. Rasanya, tanganku yang gemetar ini ingin sekali meraih helai rambutnya. Rambut yang tampak terurai di sela tempat duduk. Ingin sekali aku belai, aku elus-elus, dan aku ciumi wanginya. Namun, itu hanya menjadi lamunanku di dalam mobil. 

Tenggelam, matahari sudah tak tampak lagi. Lampu-lampu jalanan mulai berkedip tanda dihidupkan. Langit mulai hitam membiru, permukaan jalan menguning terkena sorot lampu. Semburat cahaya menyebar di kaca-kaca. Mataku sakit, aku kembali menghadap Seizra yang pipinya sekarang tampak jelas di pojok kursi. Dia merebahkan leher, ternyata dia lelah. 

Aku mulai membayangkan lagi sesuatu yang kuinginkan. Aku membayangkan jika tiba-tiba Seizra memanggil namaku secara perlahan. Aku akan mendekatkan telingaku ke mulutnya yang menawan, lalu bertanya, "Aku tidak mendengarnya tadi, bisa kau ulangi lagi?" Lalu Seizra mengulangi perkataannya, "Adit, aku ingin mengobrol denganmu."

Ah sial, kini seluruh badanku yang bergemetar. Dia mulai menorehkan senyum tipis yang, ahh aku tidak kuat dan tidak bisa menjelaskannya, seperti bom nuklir yang meledak-ledak di dalam tubuhku. Dengan tenang, aku menimpalinya, "Ngobrol aja, wkwk."

Ahh bodoh, kenapa aku tambahi "wkwk"? Seharusnya bilang "Mau ngobrol apa?". Sudah terlanjur, sekarang tunggu apa balasan Seizra. 

" Aku sedih tadi belum menang," katanya. 

Hmm... Aku harus bilang apa ya? Mungkin aku sentuh pipinya saja, sepertinya akan membuat dia lebih tenang dan bahagia. 

Aku langsung menjulurkan tanganku ke pipi Seizra yang sangat halus dan mulus. Tiba-tiba, tanganku ditarik dan dicubit sekeras-kerasnya. "Atatata aduuhh!"

"Dit! Apa yang kamu lakukan sih!? Jail amat tiba-tiba nyentuh pipi orang." Seizra mengomel tidak karuan. 

Aku baru ingat, percakapan tadi ternyata hanya bayanganku sahaja. Aku meminta maaf dan semua orang di mobil menengok ke belakang. Melihat tingkahku bersama Seizra. Kejadian yang singkat, hanya beberapa detik, tetapi cukup membuatku malu. Seizra kembali melanjutkan tidur pulasnya dan aku melanjutkan memerhatikan laju kendaraan di balik jendela mobil. 

Aku senyum-senyum sendiri. 

Komentar

Baca Juga