Cerpen: Pete
sumber: pixabay.com |
Aku sendirian meski dalam keramaian, tak ada kegiatan yang berarti dalam kehidupanku. Bosan dan tidak menarik. Hari demi hari kulewati dengan tanpa tujuan. Yang kuinginkan tidak muluk-muluk, hanya ingin membuka mata dan melihat keindahan dunia yang sementara, meskipun keindahan itu juga tidak indah-indah amat. Setidaknya, mampu membuatku menghela napas dan bergumam, “Ahh, indahnya!”
Kadang-kadang, aku gusar dengan keadan seperti ini. Kadang-kadang pula, aku bersabar. Namun, aku lebih sering merasa gusar ketimbang bersabar. Di kala gusar, aku berimajinasi ada sebuah percikan misterius yang tiba-tiba muncul di depanku. Lalu, percikan itu mulai membentuk sebuah lingkaran portal yang terus membesar. Di dalamnya terdapat entitas mengerikan dengan gigi-gigi bagian depan nan runcing dan tajam. Aku ketakutan dan lari terbirit-birit. Kemudian, percikan tersebut makin banyak dan makin banyak lagi di segala tempat. Keadaan menjadi runyam. Suasana sekitar layaknya medan perang, bahkan lebih parah lagi, seperti kiamat zombi. Aku pasrah. Tergeletak di tengah rel kereta api dan mulai digerogoti oleh monster-monster itu. Aku mati lalu dikirim oleh malaikat menuju afterlife.
Aku tertawa di pojok emper toko. Menghibur diri dari gusar yang aku alami. Tertawa atas imajinasiku apabila nanti menjadi kenyataan. Aku menunggu momen itu dengan penuh antusias. Mungkin, alasanku tetap hidup untuk saat ini karena aku ingin dapat berjumpa dengan momen tersebut. Meskipun tampak mustahil dan aku paham akan hal itu.
Di pagi petang, seorang pemuda berjalan gontai menghampiriku sembari menggenggam botol arak berbau menyengat. “Siapa itu?” kataku berbisik pada diri sendiri, pelan sekali. Aku bangkit dari tidur dan duduk meringkuk.
Lalu, pemuda itu menjawab, “Aku pemabuk!” dengan suara lantang.
Terkejut! Bukankah aku mengatakannya sangat pelan? Kukira dia tidak akan mendengarnya.
Pemuda mabuk itu menimpaliku lagi, “Hei! Aku tahu apa yang kamu pikirkan! Jangan kira aku tak mendengarnya! Hahahaha.”
Aku diam.
“Kau Lihat ini? Jam tangan superkeren dengan teknologi mutakhir yang dapat membaca pikiran manusia,” kata dia penuh keangkuhan.
Pemuda mabuk yang gila, pikirku. “Oh, ya? Bolehkah kulihat lebih dekat?” tanyaku penasaran terhadap jam tangan tersebut.
Kemudian, dia meletakkan botol araknya dan melepas jam tangan itu pelan-pelan. Lalu, diberikannya kepadaku tanpa rasa curiga sedikitpun. Padahal, bisa saja aku mencuri jam tangan tersebut.
Wow, sungguh benda yang luar biasa. Aku mengambil ancang-ancang, menguatkan otot kaki, dan mengambil langkah seribu. “Yes, aku mendapatkannya!”
Aku telah mencurinya.
Pemuda itu bingung. Beberapa detik kemudian, dia baru sadar bahwa jam tangannya telah dicuri. “MALING!!!” teriaknya, “AH, SIALAN!” Pemuda itu meraih botol araknya dan membanting sekeras mungkin sampai pecahan belingnya terbang ke mana-mana. Dia kesal, tetapi tak kuasa berlari mengejarku sebab dia masih mabuk sempoyongan.
Aku berlari, berlari, dan terus berlari. Langkahku terhenti di gudang kosong bekas garasi reparasi mobil yang terbengkalai. Di sini sepi, gelap, lembap, dan mengerikan. Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan tempat seperti ini.
Aku mengeluarkan jam tangan luar biasa tadi. Mengamatinya dengan saksama.
“Astaga, aku belum pernah melihat jam tangan seperti ini. Sungguh luar biasa!” ucapku.
Aku mencoba segala tombol di jam tangan tersebut tanpa tahu fungsi-fungsinya. Tiba-tiba saja, jam tangan tersebut mulai mencengkeram lenganku dan aktif saat salah satu tombol—aku tak tahu tombol apa—tertekan.
“Welcome to superwatch 103. I am Pete. Artificial Intelligence that can make user lives easier. Happy using!”
“Wow!” ungkapku sangat terkejut, “Keren sekali! Jam tangan ini ternyata dapat bicara.”
“You can choose the language you wanna use.”
Muncul hologram tiga dimensi dengan pilihan berbagai bahasa dari seluruh dunia. Langsung saja aku memilih bahasa Indonesia. Kemudian, kucoba tanya dan panggil namanya tanpa ragu. “Pete, aku ingin bahagia! Bagaimana caranya?”
“Tersenyumlah!” jawab Pete.
Aku tersenyum kegirangan karena Pete ternyata dapat menjawab pertanyaanku. Hahahaha, keberuntungan apa yang datang kepadaku sehingga aku bisa mendapatkan jam tangan sekeren ini.
Aku bertanya lagi, “Kau bisa apa saja, Pete?
Selanjutnya, Pete menjelaskan panjang lebar fitur-fitur yang dimilikinya beserta fungsi dari fitur tersebut. Ternyata tak ada yang tak bisa dilakukan oleh Pete. Dari cara mencari uang, mencari jawaban soal matematika, hingga mencari pasangan hidup. Pete bisa semua! Aku kagum dengan teknologi yang dimiliki Pete.
Pete mulai mengajariku cara bertahan hidup di kota metropolitan sebesar ini. Bayangkan saja, anak usia lima belas tahun sepertiku hidup sebatang kara di tengah ganasnya kehidupan perkotaan. Menyedihkan bukan? Aku tak akan cerita tentang latar belakangku. Selain karena membosankan, aku juga malu dan tak sudi menceritakannya. Terima saja kenyataan bahwa aku merupakan seorang remaja menyedihkan yang hidup sebatang kara dan kehidupannya mulai berubah ketika bertemu ‘Pete’.
Pete jam tangan yang menyenangkan. Hari ke hari, minggu ke minggu, Pete selalu bersamaku dan hidupku mulai membaik. Aku tak lagi tidur di emper toko sebab aku sudah mampu menyewa tempat menginap sendiri atas bantuan Pete. Bisa dibilang, aku sudah berkecukupan. Pete memberiku pengetahuan tentang cara berdagang kudapan khas kota metropolitan ini. Tak disangka, daganganku laku keras. Hampir setiap hari, kudapan yang kujual ludes tak bersisa. Saran-saran yang diberikan Pete terbukti ampuh. Aku masih tak percaya barang sekecil ini mempunyai pemikiran analisis yang luar biasa.
Suatu ketika, aku berkontemplasi di pinggir jalan dan terpikir olehku perihal asal-usul Pete. Jam tangan ini kudapatkan dengan mencuri dari pemabuk waktu itu. Cara yang sangat buruk, bukan? Aku jadi merasa iba dengan pemabuk itu. Bagaimana nasibnya sekarang? Aku tak tahu. Terlebih, menurutku, Pete bukan hasil teknologi di zaman ini. Barangkali pemabuk itu berasal dari masa depan dan mungkin Pete adalah mesin waktu yang dia gunakan untuk pulang ke zamannya. Aku juga tidak tahu. Pete tidak bicara apapun tentang mesin waktu. Jadi, mungkin saja dugaanku keliru.
Sangat kebetulan. Di tengah lamunanku, Dua blok dari tempatku duduk, kulihat pemabuk itu sedang berjalan gontai tampak lemah lesu seperti orang belum makan tiga hari. Aku bingung hendak kabur atau menghampirinya. Aku berada di antara takut dan iba. Aku ingin memberi sebungkus kudapan untuknya, tetapi aku juga takut bertemu dengannya sebab kau tahulah alasannya kenapa. Lima detik berpikir, aku memutuskan untuk menghampirinya saja. Bisa kau bayangkan, dia sudah seperti mayat hidup.
“Permisi, aku punya sebungkus kudapan untukmu. Terimalah,” ucapku.
Dia menoleh dengan tatapan kosong dan putus asa. Melihat wajahku perlahan dengan penuh tanda tanya. Tak lama, dia sadar bahwa aku adalah si pencuri jam tangannya. Setelah itu, dia mengejarku seperti anjing kelaparan. Ingatannya tentang diriku dan dendam kesumatnya kepadaku sepertinya tidak akan hilang seumur hidup. Tentu saja, aku turut berlari menuju gerobak dagang dan segera hengkang dari sana.
Berkilo-kilometer berlari tak membuatnya lelah sedikitpun. Aku bertanya pada Pete, apa yang harus kulakukan. Pete menyarankanku untuk berhenti.
“Apa!? Aku tidak mau melakukannya, Pete,” teriakku. Pete tidak menggubris.
Pemabuk itu masih terus mengejarku. Gila, tenaganya luar biasa, mungkinkah pengaruh alkohol sebegitu kuatnya sampai orang loyo pun mendapat energi sangat besar. Aku mulai lelah. Apakah aku harus menuruti saran Pete? Namun, apa yang akan terjadi jika pemabuk itu berhasil menangkapku? Bisa jadi, leherku akan digorok dengan gergaji tumpul mengerikan. Membayangkannya saja sungguh membuatku ngilu.
Sebongkah kerikil sialan menjatuhkanku. Gubrak!! Ah, dia menang dan aku tertangkap.
Pete sudah kembali kepada pemiliknya. Direnggut olehnya dengan paksa dari lenganku. Ternyata dia tidak peduli lagi kepadaku dan dia meninggalkanku begitu saja. Syukurlah. Dia hanya ingin jam tangannya kembali. Kukira, aku akan dieksekusi mati saat itu juga.
“Huft! Pete memang bukan milikku. Sesayang apapun aku kepada Pete, kalau bukan jodohnya pasti akan pergi juga dengan orang lain.” Kata-kataku tampak tidak asing bagi remaja belasan tahun yang sedang kasmaran. Ditinggal pergi ketika sayang-sayangnya memang sakit, tetapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Pepatah pernah mengatakan bahwa tingkat tertinggi dalam menyayangi adalah mengikhlaskan. Ya, aku ikhlas Pete pergi dengan pemiliknya yang sah. Terima kasih, kau telah mengajariku tentang banyak hal, Pete. Arti tentang bertahan hidup dan berusaha menjalaninya dengan penuh semangat.
Bicara apa aku, Pete hanya seonggok jam tangan futuristik. Mana mungkin dia memiliki perasaan seperti itu. Ya, setidaknya, ketika bersama Pete, ada bagian dalam hidupku yang tidak membosankan. Meskipun itu bukan seperti imajinasi yang kubayangkan. Bukan sebuah momen dikejar monster, lalu mati di tengah rel kereta api.
Pertemuanku dengan Pete mengajarkanku bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Aku jadi percaya, suatu saat, momen percikan seperti yang pernah kubayangkan itu akan benar-benar terjadi. Mustahil, tetapi aku tetap percaya. Pada akhirnya, aku akan mati dan dibawa oleh malaikat menuju afterlife. Ya, benar. Afterlife.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar
silakan berkomentar!