Jakarta vs Everyone

Uh! Jakarta kota impian.

Celoteh anak kecil yang belum tahu apa-apa. Anak kecil yang setiap kali menghidupkan televisi tontonannya berupa kartun-kartun dengan jalan cerita yang tidak jelas beserta karakternya yang tidak masuk di akal. Anak kecil yang ketika bermain bola bersama anak-anak yang lebih kecil lagi darinya menganggap bahwa ia adalah Cristiano Ronaldo karena saking mahirnya menggocek bola. Anak kecil yang masih polos dan sangat kurang wawasan serta pengalaman.

Layaknya manusia yang senantiasa berkembang dan beradaptasi terhadap lingkungannya, si anak kecil semakin bertambah besar. Wawasannya ikut bertambah seiring waktu beserta pengalaman-pengalam hidup yang sangat berharga. Celoteh miliknya waktu dulu, semakin hari semakin ia tidak percaya kebenarannya karena ia telah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Jakarta bukanlah kota impian seperti yang ia bayangkan di masa lalu.

sumber: pixabay.com

Waktu itu, saat pertama kali ia menginjakkan kaki di Jakarta, ia melihat langit yang jernih dengan tanaman-tanaman rapi di sepanjang jalan. Gedung-gedung pencakar langit berdiri megah seperti raksasa yang sangat mengintimidasi. Air mancur luar biasa yang sangat luas dan tampak segar jika mandi di tengah-tengahnya. Apalagi cuaca sedang terik. Ia berharap suatu saat bisa hidup di kota utopia yang seperti ini, membayangkan hidup enak dan bahagia, serta menikmati kondisi lingkungan yang tidak pernah ia temui sebelumnya di kampung halaman. Bahkan, sampai ada orang yang meyakinkan ia bahwa suatu saat kelak ia akan benar-benar hidup di Jakarta. Hingga harapan itu secara ajaib terwujud dan akhirnya ia dapat merasakan kehidupan Jakarta yang sangat berbeda dengan konsep kota impian bayangannya. Ia telah menyadari bahwa Jakarta itu liar dan berbahaya.

Aku bingung kenapa Jakarta banyak dipilih orang sebagai tempat mengadu nasib? Bukankah masih banyak kota-kota lain di Indonesia yang cukup potensial dijadikan tempat mengadu nasib? Taruhlah Semarang, Surabaya, Bandung, dan lainnya. Menurut sesempit penglihatanku, Jakarta dipilih bukan karena dasar suka rela memilih, tetapi karena dasar keterpaksaan pilihan. Jakarta merupakan Ibu Kota Negara. Di sekitarnya, terdapat daerah-daerah satelit untuk menyokong Jakarta itu sendiri. Kumpulan daerah tersebut termasuk ke dalam kawasan Jabodetabek yang terdiri dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dunia lapangan kerja yang sangat gila berkumpul di Jakarta semua. Tentunya, lapangan kerja yang banyak tersebut membutuhkan pekerja yang banyak pula. Di sinilah fungsi daerah satelit yang senantiasa memberikan suplai tenaga kerja yang tiada habisnya. Keadaan memang mendesak orang-orang untuk pergi mengadu nasib di Jakarta karena memang sangat banyak lapangan kerja di sana.

Sebenarnya kota-kota yang lain seperti Semarang dan Surabaya juga menjadi salah satu destinasi mengadu nasib orang-orang. Namun, di kota-kota tersebut, tampaknya belum menekankan konsep daerah satelit penyokong layaknya Jabodetabek. Orang-orang di sekitar Semarang seperti Demak, Kendal, dan Ungaran masih memandang Semarang sebagai kota yang biasa saja. Tidak ada ketertarikan orang untuk mengadu nasib di Semarang karena bagi mereka lapangan kerja yang ada sama saja dengan lapangan kerja di daerah mereka. Mungkin kondisi di Surabaya juga seperti itu, tetapi dengan tingkat ketertarikan sebagai kota untuk mengadu nasib lebih tinggi daripada Semarang. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut.

Kembali lagi ke Jakarta.

Ada beberapa kejadian tidak biasa menimpaku ketika aku berada di Jakarta. Beberapa kejadian yang belum pernah aku alami di kampung halaman. Kejadian itu yang membuatku menganggap Jakarta bukanlah seperti kota utopia bayanganku. 

Coba pikirkan, apa yang akan kamu lakukan ketika tiba-tiba kamu dipanggil seseorang yang tidak kamu kenal di pinggir jalan? Mengabaikannya, mendekatinya, atau langsung memukulinya? Ya, ternyata jawaban yang paling dapat menghindarkan kita dari masalah adalah mengabaikannya. Meskipun kita mendengar panggilan tersebut, kita berpura-pura tidak mendengar dan melanjutkan perjalanan kita seperti biasa. Namun waktu itu, aku tidak bersikap seperti itu. Aku mendekatinya dan segera dimintai uang untuk suatu hal. Hmmm, shit.

Ada lagi, aku sedang melewati sebuah mushola dan tampak di sana ada seorang ibu yang duduk di emper mushola tersebut. Tiba-tiba aku ditodong dengan tangah menengadah sembari dimintai uang sedekah. Padahal aku sering lihat ibu itu mondar-mandir dengan sebatang rokok di tangannya dengan kepulan asap rokok keluar dari sela mulut dan hidungnya. Hmmm, shit. Aku pelit waktu itu, langsung pergi mengabaikannya. Sebenarnya tidak baik, tetapi rasanya aku tidak ikhlas jika uang pemberianku dibelikan oleh ibu itu hanya untuk sebatang rokok. Jadi, lebih baik aku tidak memberikan uangku saja.

Dua pengalaman tersebut sangat amat mengagetkan jiwa dan ragaku sehingga aku lebih berhati-hati di kota ini. Aku kira, masih banyak kejadian-kejadian menyebalkan yang menimpa teman-temanku ketika berada di kota ini. Pelecehan, pemalakan, pencopetan, dan tindak kriminal lainnya senantiasa mengintai mangsanya tanpa pandang bulu.

Berhati-hati di Jakarta karena Jakarta adalah kota liar dan berbahaya!

Komentar

Baca Juga