Balada Fransiska
Untuk Fransiska, kekasihku yang sekarang kau ada di atas sana. Kita terpisah jauh antara dimensi ruang dan waktu. Pemerintah zalim telah memisahkan kita ke dua dunia yang berbeda. Kalau kau boleh tahu, aku di sini tersia-siakan dan begitu mengenaskan sampai-sampai aku sendiri prihatin dengan keadaanku. Kuharap Fransiska, kau di sana tidak bernasib sama sepertiku yang ada di sini. Dunia bawah antah berantah, masyarakat terdiskriminasi yang hanya diperintahkan untuk menambang batu mineral yang aku tidak tahu berapa harga sebijinya, sampai diperjuangkan sedemikian rupa. Dugaanku batu mineral ini berharga fantastis.
***
“Fransiska, apa yang kau lakukan di situ?”
“Ah, Tuan Danu! Aku sedang melihat ikan di dalam kolam,” ucap Fransiska yang membungkuk di pinggir kolam sembari menikmati suasana pagi yang saat ini cukup dingin. Cukup untuk membuat gigi bergertak sehabis mandi. Brrr!
“Baiklah,” balas Tuan Danu. “Hati-hati, Fransiska. Akhir-akhir ini pasukan pengaman dunia sering berpatroli di sekitar sini.”
“Siap, Tuan. Aku akan berjaga-jaga.” Fransiska tersenyum lebar sampai matanya terpejam menghadap ke Tuan Danu.
Fransiska merupakan gadis pelarian dari dunia atas. Ia tinggal bersama komandan pasukan revolusioner yang sangat terkenal, Tuan Danu. Sesosok misterius yang hanya diketahui namanya saja oleh pemerintah dunia. Tuan Danu menjadi buron selama beberapa tahun terakhir, dia ahli berpindah-pindah tempat atau bisa dikatakan hidup nomaden. Tuan Danu punya cukup banyak kaki tangan dan mata-mata. Ia mampu mengoordinasikan gerakan-gerakan pasukan revolusioner dalam pemberontakan melawan pemerintah dunia meski tak hadir langsung di tengah-tengah pasukan revolusioner tersebut, Hebat!
Hari ini, di persinggahan Tuan Danu, Fransiska melihat salah satu kaki tangan Tuan Danu bertamu. Hanya mereka berdua, mungkin kaki tangannya sedang melapor keadaan lapangan yang terbaru. Beberapa waktu kemudian, Tuan Danu keluar dari persinggahannya dan memanggil Fransiska. “Fransiska! ada sesuatu untukmu.” Ia memanggil dengan muka serius, pertanda ada sesuatu yang sangat penting.
“Dari siapa ini, Tuan Danu?” tanya Fransiska penasaran. Ia menerima botol kaca berisi kertas lusuh dan penuh kotor.
“Salah satu mata-mataku di dunia bawah baru saja membawakannya, bukalah!” seru Tuan Danu.
Tanpa pikir panjang, ia segera membuka botol kaca dan merentangkan kertas lusuh dan penuh kotor itu dengan hati-hati. Tanpa disangka-sangka. Surat itu ditulis oleh Adit, kekasihnya yang begitu ia cintai. Fransiska sedikit kaget kemudian memunculkan sorot mata berbinar. Ia yakin tulisan di kertas itu adalah tulisan Adit. Ia tahu betul font tulisan Adit. Tidak ada yang bisa menyamainya karena tulisan Adit sangat khas. Benar, tulisan Adit adalah tulisan super jelek seperti cekeran ayam. Saking jeleknya, hanya Fransiska yang memahami tulisan Adit. “Ah, Tuan Danu, ini tulisan Adit! Tulisan super jelek seperti cekeran ayam.”
Tuan Danu tersenyum. Ia turut Bahagia atas kabar yang masih diberikan Adit kepada Fransiska. Kabar tersebut menandakan bahwa masih ada secercah harapan bahwa Adit masih hidup. Jika tidak ada yang bisa dilakukan lagi oleh manusia, maka hanya harapan yang dapat memberikan sokongan moral dan tekad untuk terus berjuang.
Fransiska memeluk erat surat lusuh dan penuh kotor itu lalu segera membawa masuk ke dalam persinggahan. Duduk di tempat tidur dan mulai membaca untaian kata yang dituliskan Adit.
“Ah, Dit. Tulisanmu masih sama seperti yang dulu. Aku menyukainya. Tulisan super jelek seperti cekeran ayam. Aku akan membacanya.”
Pagi menjelang siang hari itu, Fransiska mulai membaca surat dari Adit. Kata perkata, halaman perhalaman, lembar perlembar Fransiska baca dengan saksama supaya tidak ada satu huruf pun ia lewatkan dari tulisan Adit. Dua jam, tiga jam, empat jam berlalu. Sampai matahari hampir terbenam di ufuk barat. Ia begitu senang membaca surat dari Adit. Seperti diceritakan oleh Adit langsung dari sampingnya. “Dit, rindukah kau padaku? Tak inginkah kau duduk di sampingku? Kita bercerita tentang laut biru di sana harapan dan Impian.” Itu lirik lagu terkenal di dunia mereka sebelumnya yang menjadi lagu kesukaan mereka berdua saat masih bersama.
Waktu malam telah tiba, saatnya penghuni persinggahan Tuan Danu berkumpul di meja makan. Salah satu dari penghuni itu adalah Kak Garnis, penyintas dunia atas sama seperti Fransiska yang diselamatkan oleh Tuan Danu. Fransiska duduk mendekatinya, tampak tertarik menceritakan seluruh isi cerita dari surat yang dikirim Adit. “Aku ingin bercerita kepadamu, cerita ini datang dari kekasihku.”
“Apa! Kau punya kekasih?”
“Hehe, menurutmu?”
“Gak, aku mau makan!”
“Habis makan.”
“Gak, aku mau tidur”
“Sebelum tidur.”
“Gak bisa, besok aku ada misi penting di tengah kota. Ceritakan saja kekasihmu itu pada Hani—anjing peliharaan Tuan Danu,” balas Kak Garnis dengan ketus.
“Ayolah, Kak!” Fransiska membujuknya, “Aku akan memberikan jatah makananku malam ini jika kau mau mendengarkan ceritaku.”
“Apa! Kau selalu seperti itu, Fransiska. Benarkah kau mau memberikan makananmu?”
“Heem”
“Terima kasih, dengan senang hati aku akan mendengarkan ceritamu, datanglah ke tempat tidurku nanti malam. Kita ngobrol sampai pagi.” Kak Garnis suka makan, dibujuk sedikit dengan makanan pasti ia langsung bergegas. Meksipun begitu, tubuhnya tetap langsing berotot sebab berkegiatan fisik setiap hariya. Ia berada di divisi logistik, pergi turun ke lapangan untuk mendapatkan makanan dan sumber daya lainnya. Tentunya diberkati keahlian menyamar menjadi warga lokal dan dipersenjatai lengkap tanpa ketahuan oleh pasukan pengaman dunia. Sementara Fransiska sendiri masuk ke divisi pengasuhan dan kebutuhan rumah tangga. Penyintas-penyintas yang diselamatkan Tuan Danu beberapa masih belum cukup umur dan perlu pengasuh yang kompeten. Fransiska adalah sosok yang tepat dan dapat diandalkan. Gadis cerdas, manis, dan penyayang. Bocah-bocah di persinggahan Tuan Danu menyukainya.
Waktu tidur telah tiba, “Kak Garnis, lihatlah ini!” ucap Fransiska kepada Kak Garnis di atas tempat tidur.
“Wow, ini kah surat dari kekasihmu itu?”
“Heem”
“Gimana, gimana, apa yang mau kau ceritakan? Siapa dia? Apakah dia juga salah satu prajurit revolusioner pengikut Tuan Danu? Atau justru antek-antek pemerintah? Bisa-bisanya kau punya kekasih seekor anjing pemerintah, turut prihatin aku, Fransiska.” Serbuan pertanyaan dari Kak Garnis menanggapi Fransiska.
“Y besar,” jawab Fransiska dengan muka datar, “Namanya Adit. Kau tahu, Kak? Dia sangat tampan. Kekasihku waktu dulu sebelum kami berpisah dunia. Sekarang masih kekasih juga sih, tetapi kami dalam keadaan long distance relationship, tadi siang Tuan Danu kedatangan kaki tangannya dan membawakan surat ini dari dunia bawah.”
“Weh, setahuku dunia bawah adalah daerah pertambangan yang keji,” tanggapan Kak Garnis setelah mendengar kata dunia bawah.
“Sepertinya iya. Aku juga pernah mendengarnya.”
“Isi suratnya apa, Fransiska?” tanya Kak Garnis lebih lanjut.
“Adit menulis seperti dairy dia di dunia bawah sana. Selain itu, juga ada pesan dari dia untukku bahwa dia baik-baik saja dan sangat rindu kepadaku. Dari surat itu, aku juga tahu bahwa kemungkinan Adit masih hidup dan masih mencintaiku seperti sedia kala waktu masih bersama.”
“Cie,” goda Kak Garnis.
“Apa, sih, Kak!” Fransiska malu. “Kau tahu, Kak. Di surat ini, ada satu cerita dari teman Adit yang sangat menarik dan masih kuingat sampai saat ini.”
Fransiska bercerita tentang cerita teman Adit yang diceritakan kepada Adit saat istrahat makan siang dari kegiatan pertambangan. Kebetulan waktu itu, ada sebuah linggis di dekat mereka duduk. Dari linggis itu, teman Adit bertanya, “Dit, aku punya cerita menarik tentang benda ini.” Bagaimana ceritanya adalah sebagai berikut.
Suatu hari, hidup kakek tua bersama istrinya di tengah hutan. Mereka tinggal di gubuk reyot yang terbuat dari kayu tebang. Ya, kakek tua itu bekerja sebagai tukang. Tukang apapun, dia bekerja serabutan sebagai tukang. Kadang tukang kayu, kadang tukang batu, kadang tukang gali kubur, kadang tukang cukur, kadang tukang gosip—tentu tidak, ini lelucon—, dan kadang tukang pencari logam mulia seperti Adit dan temannya itu. Semua kegiatan pertukangan bisa dilakukannya. Akibatnya, sangat banyak alat-alat pertukangan yang dia miliki. Salah satunya adalah linggis seperti yang dibawa teman Adit. Sementara itu, istrinya juga sudah tua dan sekarang mengalami penyakit komplikasi sehingga hanya bisa rebahan di gubuk reyot.
Hari itu, kebetulan kakek tua sedang dapat permintaan untuk menjadi tukang gali logam mulia. Dengan begitu alat yang ia bawa adalah linggis dan cangkul. Pagi ia berangkat dan sore ia baru pulang. Saat perjalanan pulang, kakek tua melewati sebuah jembatan yang di bawahnya ada aliran sungai dengan arus cukup deras. Gara-gara jembatan itu licin akan lumut, kakek tua tergelincir dan sialnya linggis yang ia bawa jatuh ke sungai. Jebyurr.
“Linggiskuuu!” teriak kakek tua.
Kakek tua tidak bisa menggapai linggisnya karena dasar sungai cukup dalam dan arus sungainya pun deras. Linggis itu adalah satu-satunya linggis yang ia punya dan sekarang ia belum ada uang untuk membeli linggis yang baru. Kakek tua itu pasrah dan meratapi nasib akan linggisnya yang raib di telan sungai. Kakek tua bersedih dan bersimpuh di bibir jembatan sembari mengamati deras arus sungai. Menanti keajaiban turun dari langit.
Bukannya turun dari langit, keajaiban itu justru muncul dari bawah, dari dalam sungai. Tiba-tiba tempias air mengenai muka kakek tua yang sedang bersedih, diiringi suara bergemerincing seperti kemunculan peri di cerita-cerita dongeng. Kakek tua terbelalak saat ia secara langsung melihat wanita cantik yang muncul dari dunia antah berantah. “Siapa kamu!?”
“Aku peri sungai, Kakek tua,” jawab Peri Sungai, “Kamu kehilangan linggis, bukan? Aku membawa beberapa linggis yang aku temukan di dasar sungai ini. Linggis mana yang merupakan kepunyaanmu, Kakek tua?”
“Ah, maafkan atas kelancangan saya, Peri Sungai. Benar, linggis saya jatuh ke sungai. Dari ketiga linggis tersebut, linggis emas, linggis berlian, dan linggis besi berkarat. Linggis saya adalah linggis besi berkarat itu, Peri Sungai,” balas kakek tua.
“Karena kejujuranmu, aku berikan semua linggis ini kepadamu.”
“Sungguh, Peri Sungai? Terima kasih banyak.”
Hari itu, kakek tua pulang membawa linggis berlian, linggis emas, dan linggis besi berkarat karena kejujurannya. Di rumah, istrinya yang sedang rebahan ikut kegirangaan waktu tahu suaminya pulang membawa linggis yang mewah. Bisa buat makan setahun lebih kalau dijual, pikirnya.
Bertahun-tahun kemudian, kakek tua itu menjadi kaya raya karena linggis mewah yang ia punya. Namun, kebahagiaan akan harta melimpah itu tiada artinya sebab istri tercintanya semakin sakit parah setiap hari. Hingga di satu titik, ia harus menggendong istrinya ke Puskesmas terdekat melewati jembatan yang dulu menjadi saksi bisu pertemuan kakek tua dan Peri Sungai.
Hari itu hujan lebat, kakek menggendong istrinya menggunakan jas hujan ponco khas pengendara motor. Di tengah jembatan, peristiwa sial lagi-lagi kembali menimpanya. Kali ini ia tergelincir bukan karena licin akan lumut, tetapi jas hujan ponco yang terinjak kakinya sendiri. Jebyurrr! Istri kakek tua terjatuh ke sungai.
“Ah, istrikuuuu!” kakek tua berteriak keras meratapi istrinya yang terjatuh ke sungai.
Peristiwa yang pernah ia alami bertahun-tahun lalu terulang kembali, muncul Peri Sungai beserta tiga orang perempuan yang salah satu dari mereka adalah istri kakek tua. “Manakah istrimu wahai, Kakek tua?”
“Istri saya jatuh ke sungai, Peri Sungai. Dari ketiga perempuan tersebut, perempuan sales kosmetik, perempuan mantan saya waktu sekolah, dan perempuan tua yang sedang di ambang kematian. Istri saya adalah perempuan sales kosmetik yang sangat cantik bak model sampul majalah dewasa itu, Peri Sungai,” jawab kakek tua dengan tegas.
“Kamu pembohong, Kakek tua! Aku kecewa kepadamu.” Duarrrr! Petir menggelegar. Kakek tua itu akan diberi hukuman oleh sang Peri Sungai.
…
“Sial! kenapa kakek tua itu malah tidak memilih istrinya?” tanya Kak Garnis yang gusar mendengar ending cerita.
Fransiska terkekeh, lalu berkata, “Lucu melihat reaksimu, Kak Garnis. Cerita itu belumlah selesai.”
“Oh, ternyata belum sampai ending. Bagaimana kelanjutannya?” tanya Kak Garnis.
“Kakek tua itu pada akhirnya dapat membawa istrinya ke Puskesmas terdekat,” jelas Fransiska.
“Bagaimana bisa? Bukannya kakek tua telah dijatuhi hukuman oleh Peri Sungai?” ucap Kak Garnis dengan memasang muka sangat penasaran.
“Jadi, sebelum hukuman itu dijatuhkan ke kakek tua, Peri Sungai bertanya alasan kakek tua berbohong. ‘Kenapa kamu berbohong, Kakek tua?’ kata Peri Sungai. Kakek tua menjawab, ‘dua bulan lalu, saya melihat pemburu hutan kehilangan busur panahnya di sungai ini dan bertemu dengan Anda, Peri Sungai. Kemudian, pemburu itu berbohong dan Anda jatuhi hukuman berat kepada pemburu itu lantas menyuruhnya pergi beserta busur panah miliknya yang asli. Jika saya berkata jujur, saya akan mendapatkan ketiga perempuan di samping Anda. Saya tidak ingin hal itu terjadi. Saya setia kepada istri saya. Saya hanya ingin mencintai istri saya dan tidak ada satu orang pun yang lain. Saya rela mendapatkan hukuman berat karena berbohong kepada Anda asalkan saya bisa mendapatkan istri saya kembali dan lekas membawanya ke Puskesmas. Hanya untuk itu, Peri Sungai.”
“Damn! Cukup menarik,” kata Kak Garnis.
“Yeah, Peri Sungai terkejut mendengar alasan kakek tua itu. Ketulusan kakek tua dalam mencintai istrinya sangat luar biasa. Emejing. Peri Sungai terharu dan tidak jadi menjatuhi hukuman berat kepada kakek tua,” jelas Fransiska akan ending dari kisah di surat Adit.
Selain kisah-kisah, di surat itu, Adit juga menuliskan berbagai isi hatinya. Banyak kata afirmasi bahwa Adit masih tetap mencintai Fransiska. Harapan terbesarnya ada bisa berjumpa lagi dengan Fransiska suatu saat. Di akhir surat itu, Adit berharap jika surat itu telah sampai kepada Fransiska, Fransiska bisa membalasnya. Mengirim surat balasan melalui kaki tangan Tuan Danu.
Selepas pergi dari tempat tidur Kak Garnis, Fransiska menuju tempat tidurnya sendiri dan segera meluncur merebahkan diri. Tidak lupa, ia menulis surat balasan untuk Adit dan dikirimkan lewat kaki tangan Tuan Danu yang akan melanjutkan perjalanan keesokan hari.
Hari itu merupakan hari di mana permulaan peristiwa balas berbalas surat antara Adit dan Fransiska. Adit mengirim surat, Fransiska membalas. Fransiska mengirim surat, Adit membalas. Begitu seterusnya sampai beberapa bulan kemudian. Tidak seperti dunia tentram yang dengan mudahnya seseorang berbalas pesan secara real-time dan instan. Mereka berbalas pesan dengan menunggu waktu yang cukup lama sebab sangat sulit menyelundupkan sebiji botol kaca berisi kertas lusuh melewati dua dunia yang terpisah. Biayanya pun juga tidak murah. Yeah, mereka saling percaya kalau surat-surat itu asli sebab konteks bahasan dan tulisan yang cocok dan saling mereka pahami. Tidak ada kecurigaan sekecil biji bayam pun.
Namun, pada sesi berbalas surat yang ke dua puluh satu ini, Adit tidak mengirim balasan surat kembali. Padahal, kegiatan ini sudah berjalan hampir dua tahun semenjak Adit pertama kali mengirim surat. Apa yang sebenarnya terjadi? Fransiska risau dan takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Menurut pola waktu pengiriman surat yang sudah-sudah, hari ini seharusnya kaki tangan Tuan Danu datang dan membawakan surat dari Adit. Sampai sore hari pun, dia tidak kunjung datang.
“Permisi Tuan Danu, apakah Fulan tidak datang hari ini?” tanya Fransiska kepada Tuan Danu yang sedang ada di ruangannya. Fransiska sedikit penasaran sebab kali ini Tuan Danu tampak gugup dan memasang muka sedang berpikir keras.
Tuan Danu menoleh kepada Fransiska yang tiba-tiba muncul di ruangannya, ia lekas berdiri, mengambil jaket, dan mengemasi barang-barangnya. “Fransiska, perintahkah semua penghuni persinggahan untuk berkemas-kemas. Keadaan darurat kode 04! Kutunggu selama 15 di ruang bawah tanah,” seru Tuan Danu tanpa penjelasan apapun mengenai kondisi si Fulan, kaki tangan Tuan Danu yang biasa membawakan surat dari Adit. “Cepat!” tambahnya berteriak karena Fransiska sedikit melamun mengolah informasi yang begitu cepat menguasai pikirannya.
“YES, SIR! Laksanakan!”
Fransiska berlari ke ruangan anak-anak dan menginstruksikan mereka untuk segera memakai pakaian anti suhu rendah alias jaket dan sepatu. Tidak lupa juga ia suruh anak-anak asuhannya untuk membawa tas dengan isi makanan dan pakaian ganti seperlunya. Ia paham kalau sekarang adalah waktu persiapan migrasi ke persinggahan berikutnya. Pasti butuh waktu perjalanan yang panjang dan melelahkan. Fransiska juga menginstruksikan seluruh divisi untuk berkemas-kemas dan berkumpul di ruang bawah tanah selama 15 menit lagi karena keadaan darurat kode 04. Divisi logistik yang sekarang sedang tugas di lapangan juga dihubungi untuk menarik mundur pasukan dan bergerilya sampai titik kumpul yang sudah ditentukan. Fransiska ke tempat tidurnya dan berganti pakaian kompak dengan bahan yang pas di badan semacan suit renang anti gores. Ia juga memakai rompi militer khas pasukan bersenjata di film-film aksi. Ia membuka ransel dan mengemasi seluruh barang pribadinya. Ia buka balik ranjang tempat tidurnya dan tampak senapan laras panjang beserta persediaan peluru. Ringan dan mudah dibawa. Hasil teknologi mutakhir yang beberapa waktu lalu senjata ini ditemukan oleh Kak Garnis di gudang persenjataan terbengkalai. Cocok untuk Fransiska. Kini, Fransiska berubah dari mulanya adalah pengasuh anak berpenampilan lemah lembut menjadi prajurit militer bersenjata lengkap yang gagah perkasa.
Persiapan telah usai. Semua penghuni persinggahan telah berkumpul di ruang bawah tanah. Kit komunikasi dan peralatan penting sudah dikemas, saatnya Tuan Danu memberikan briefing singkat sebelum perjalanan.
“Anak-anakku! Fulan tertangkap oleh pasukan pengaman dunia! Informasi lokasi persinggahan kita telah bocor. Keadaan darurat kode 04. Kali ini, kita akan menuju wilayah selatan dan bergabung dengan pasukan revolusioner di sana!”
DUARRRRR!!
Ruang bawah tanah hancur lebur, semua pasukan revolusioner di bawah komando Tuan Danu tewas seketika. Mayat pasukan revolusioner layaknya ayam geprek karena tertimpa reruntuhan. Dari beberapa sisi bangunan yang runtuh di atas sana, muncul sesosok yang sangat didambakan kehadirannya Fransiska. Sosok itu berkata, “Apakah semua sudah tewas?”.
“Seperti yang Anda lihat, Jendral. Semua telah menjadi ayam geprek, kemungkinan termasuk pemimpin pasukan revolusioner,” balas salah satu pasukan pengaman dunia yang ternyata adalah pengebom persinggahan Tuan Danu.
“Jangan panggil aku Jendral. Aku masih belum terbiasa dengan panggilan itu, meski sekarang itu jabatanku, panggil aku Mas Adit,” Sosok itu geram dan sebal.
“YES SIR!”
Pasukan revolusioner telah kalah. Karena pemimpin mereka diyakin telah tewas, terjadi dualisme penerus kepemimpinan sehingga muncul fraksi baru dari pasukan revolusioner. Adit berpura-pura menyurati kekasihnya Fransiska supaya tahu di mana lokasi persembunyian Tuan Danu sebab menurut informannya selama ini, Fransiska ada bersama dekapan Tuan Danu. Untuk saat ini, Adit mendapatkan bonus dari pasukan pengaman dunia karena kini status pekerjaannya adalah “Mission Completed!”.
Akan tetapi, apakah benar Tuan Danu dan Fransiska benar-benar tewas pada insiden tersebut?
Tak ada yang tahu.
Komentar
Posting Komentar
silakan berkomentar!